POTENSI PARIWISATA


Seiring dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa, maka pemerintah desa dan masyarakat harus berusaha menggali berbagai potensi di desa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Dan salah satu potensi desa dawata’a yang kini masih ‘perawan’ adalah potensi pariwisata baik dibidang pariwisata alam maupun pariwisata budaya. Secara geografis, letak desa Dawata’a di wilayah pegunungan yang berbukit menjadi magnet tersendiri bagi wisatawan baik domestik maupun wisatawan manca negara. Salah satu obyek wisata alam yang berpotensi menjadi sumber penerimaan desa adalah air terjun (Wai Gokka, )  yang  merupakan bagian dari sungai Wai Keang 
   
 a) Obyek wisata Air terjun (Wai Gokka).

    Obyek  wisata alam  ini terletak di bagian Barat desa Dawata’a. untuk     sampai ke lokasi tersebut bisa melalui berbagai jalur alternatif. Jika wisatawan yang langsung dari desa Terong, bisa menggunakan kendaraan roda dua melalui pantai Dua, terus menyusuri lembah Bao Limma dan lela menuju Watohewa dan sampai di wai Udek (sumber mata air) lalu beberapa meter puluh menuju sumber air terjun. Perjalanan bisa ditempuh satu jam. Jalur alternatif lainnya melewati jalan kaki dari Baun petun, waidawwan dan melalui perbukitan terjal lalu menuju lokasi. Dan jalur yang lebih mudah adalah melewati Wai keang, dan parkir di Belaga lalu perlahan-lahan panjat tebing menuju lokasi. Obyek wisata ini sampai sekarang belum tersentuh infrastruktur baik pemerintah daerah maupun pemerintah desa. Diharapkan kedepan menjadi obyek wisata alam yang bisa mendatangkan uang bagi desa.

   b ) Obyek wisata Wai Keang
     Bagi masyarakat desa Dawata’a dan sekitarnya Waikeang  adalah tempat persingahan dan pelepas lelah para petani dan pemburu hewan yang lelah setelah keseharian berburu dan berkebun. Gemercik airnya yang jernih yang keluar dari bebatuan berwarna merah itu menjadi pemandangan yang memanjakan mata setiap pengunjung. Meskipun belum tertata, namun saat ini pemerintah desa sudah membuka isolasi wilayah ini sehingga kendaraan roda dua dan empat sudah bisa menembus obyek wisata alam yang satu ini. Obyek wisata ini masih alami, namun warga setempat mendaulat lokasi wisata ini sebagai tempat pelepas lelah dan dahaga, karena obyek wisata ini terletak ditengah-tengah sehingga warga yang ke kebun wajib melalui jalur ini. 
     Sejak dulu kala lokasi ini menjadi sangat ramai dan padat ketika tanggal 1 Muharram karena tradisi mandi syafar dan makan ketupat warga masyarakat islam di desa Dawata’a Bilal dan sekitarnya di lokasi ini, selain airnya yang jernih, pepohonan yang rimbun dan lebat serta kicauan burung hutan dan udang-udang kecil yang meloncat memancing percikan air membasasi tubuh dari persembunyian menjadi pemandangan yang indah.
Selain itu hamparan bukit yang hijau dan terapik rapi juga mempesona serta nyiur angin melambai menjadi magnet tersendiri bagi setiap  wisatawan, keindahan alam dengan kemolekannya dapat menjadi jalur pendakian, heacing, kemping, tadabur alam dan kegiatan lain terutama kelompok pencinta alam. 
 
   
  c)  Rumah Adat (lango bel'en)
Selain potensi wisata alam, Desa Dawata’a juga memiliki potensi wisata budaya yang unik. Keunikan tersebut karena masyarakat desa Dawata’a  memiliki berbagai tradisi budaya yang bisa menjadi obyek wisata. Misalnya prosesi pembangunan rumah adat suku. Secara adat, msyarakat desa Dawata’a terbagi menjadi beberapa suku yakni Suku Lamakukung atau biasa dikenal dengan (Lewo alate), suku Tabby, suku Bothan, Suku Lewotapo dan Suku Waimatan. Setiap suku, memiliki ciri khas dan tradisi budayanya. 
Misalnya pada tahun 2012 lalu marga suku Tabby menggelar acara pembangunan rumah adat (lango bel’en) dan tempat prosesi untuk leluhur (Bale). Prosesi ini berlangsung dalam kurun waktu tertentu yang sudah ditentukan. Dan diujung dari prosesi pembangunan tersebut adalah seluruh anak-anak keturunan marga suku Tabby mengikuti prosesi bakar ayam (tuno manuk) penadaan dahi ( toto kenito  menggunakan minyak oleh sesepuh adat suku.  Puncak dari pembangunan rumah adat suku tabby tersebut adalah makan bersama (bu’a lamak) dan tarian adat (Sole oha)
Foto-Salah satu Prosesi Pembangunan Rumah Adat Suku Tabby Lamakukung yang bisa menjadi obyek wisata budaya  (Dok)

Rumah adat suku Tabby tetap dibangun menggunakan bahan-bahan tradisional dan terkesan orisinal dari bambu dari berbagai jenis, dan atap alang-alang serta berbagai ornamen adat seperti parang dan tombak yang dipasang diberbagai sisi atap rumah.  
Prosesi yang sama juga terjadi saat pembangunan rumah adat Suku Bothan dan suku lainnya.  Kegiatan pembangunan rumah adat suku Bothan juga melalui serangkaian prosesi adat seperti bau lolon dan puncaknya adalah bu’a lamak (makan bersama). Tradisi budaya ini terus bertahan meskipun zaman telah berubah, tradisi budaya ini diyakini menjadi pemersatu dan inspirasi dalam membangun Lewotana (kampung halaman). Prosesi pembangunan rumah adat suku dengan berbagai ritualnya dapat dipromosikan menjadi obyek wisata budaya yang dapat menarik wisatawan. 
d) Bersihkan Kampung (Hokko Lewo)
 Selain itu, tradisi budaya Hokko Lewo (bersihkan kampung) juga merupakan satu tradisi budaya yang terus berlangsung di Lamakukung desa Dawata’a hingga kini. Upacara hokko lewo ini bisanya digelar setahun sekali saat jagung memasuki musim panen. Begitu memasuki musim panen jagung Lewo alate ( pemilik kampung) mengundang para kepala suku untuk duduk bersama merembuk kapan waktu yang tepat untuk digelarnya acara Hokko lewo. Hokko lewo biasanya tidak hanya dihadiri warga Lamakukung tapi juga warga dari desa Tetangga Beloto karena memiliki hubungan tradisi adat dan leluhur yang sama. 
Prosesi ini biasanya diawali dengan bau lolon (tuang sejenis minuman alkohol dari pohon kelapa yang disebut tuak) oleh lewo alate diatas Nuba Nara (tempat para leluhur) sambil membersihkan nuba nara dan seluruh kampung termasuk rumah adat. Prosesi ini diyakini untuk membersihkan kampung halaman  dari berbagai halangan dan rintangan. Puncak dari ritual hokko lewo adalah makan bersama (bu’a lamak).
















FOTO-NUBA,ditempat inilah tempat dilangsungkan ritual adat bau lolon sebagai tanda mohon restu leluhur Lewotana
 setiap acara hokko Lewo di Lamakukung, salah satu tradisi budaya yang masih berlangsung sampai kini (dok)
 
e) Kerja kebun gotong royong(gemohing) 

Tradisi budaya lain yang masih terus bertahan di Lamakukung adalah budaya gemohing (kerja kebun bersama). Tradisi ini tak diketahui asal muasalnya, yang jelas sudah berlangsung dari leluhur dan turun temurun. Tradisi ini dibilang unik karena mereka yang masuk dalam kelompok gemohing diikat dengan sejumlah peraturan yang sudah menjadi kesepakatan bersama diantaranya. 
Jam kerja gemohing mulai pukul 07.00 wita sampai pukul 16.00. kesepakatan lain adalah apakah makan siang dibawa sendiri atau ditanggung pemilik kebun. Selain itu jika kebun yang mau dikerjakan adalah cangkulan maka semua peserta gemohing wajib membawa cangkul, sebaliknya jika pekerjaan kebunnya adalah membersihkan rumput atau gulma pada jagung, kacang atau padi maka semua peserta wajib membawa tofa (nuan, bahasa setempat). Jika pembukaan lahan baru maka yang dibawa adalah parang baik laki-laki maupun perempuan. Tak lupa jam sarapan pagi, makan siang dan kopi sore juga disepakati. Keuntungan dari gemohing adalah pekerjaan kebun bisa selesai lebih cepat dan dapat menjadi forum diskusi membahas berbagai persoalan kampung halaman dari masalah adat, budaya, pendidikan sampai pemerintahan. (ayat/din. dari berbagai sumber)  

No comments:

Post a Comment